Senin, 18 April 2016


Pendekatan PMRI
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Inovativ II)

 


Lestariningsih, S.Pd., M.Pd.

Nama Anggota Kelompok:
1.      Ahmad Didit Chayono.    Nim: 1431005
2.      Aizzatur Rohmah              Nim: 1431009
3.      Anni’mah Manzila P         Nim: 1431014
4.      Imro’atus Sholichah          Nim: 1431038
5.      M. Arya Setiawan             Nim: 1431054
6.      Nia Erlita P.                      Nim: 1431056


STKIP PGRI SIDOARJO
Jalan Kemiri, Telp.(031) 8950181, Fax.(031) 8071354, Sidoarjo.
Website : http://stkippgri-sidoarjo.ac.id
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016



A.          Pengertian dan Sejarah PMRI


PMRI digagas oleh sekolompok pendidik matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah mencari pengganti matematika modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah yang tidak menakutkan siswa, jadi ramah dan dapat menaikkan prestasi matematika siswa di dunia internasional. Di samping itu, matematika pada dasarnya bersifat demokratis, jadi wajar bila melalui matematika dapat ditanamkan budaya demokratis pada siswa. Pencarian yang lama akhirnya menemukan jawabannya lewat RME (Realistic Mathematics Education) yang diterapkan dengan sukses di Belanda dan juga di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat (disebut Mathematics in Context).

RME dikembangkan oleh Freudenthal Instituut Belanda. Bentuk dari RME dikembangkan oleh Hans Freudenthal pada tahun 1977. Menurutnya, matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi-materi matematika harus dapat ditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human activity). Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan siswa untuk “reinvent” (menemukan/menciptakan) matematika melalui praktek (doing it). Dengan demikian dalam pendidikan matematika, matematika seharusnya tidak sebagai sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu aktivitas dalam proses pematematikaan.

Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika. Menurut De Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut pematematikaan konseptual. Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam pematematikaan, yaitu vertikal dan horizontal. Pematematikaan horisontal adalah siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya (mathematical tools) dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sedang pematematikaan vertikal adalah proses reorganisasi dalam sistem matematika itu sendiri, sebagai contoh menemukan cara singkat menemukan hubungan antara konsep-konsep dan strategi-strategi, dan kemudian menerapkan strategi-strategi itu. Singkatnya, pematematikaan horisontal berkaitan dengan perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan pematematikaan vertikal adalah pengubahan dari simbol-simbol ke simbol matematika lainnya (moving within the world of symbols). Meskipun perbedaan antara 2 tipe ini menyolok, tetapi tidak berarti bahwa 2 tipe tersebut terpisah sama sekali. Dua tipe tersebut sama-sama bernilai. Pemerintah Belanda mereformasikan pendidikan matematika dengan istilah “realistic” tidak hanya berhubungan dengan dunia nyata saja, tetapi juga menekankan pada masalah nyata yang dapat dibayangkan (to imagine). Jadi penekanannya pada membuat sesuatu masalah itu menjadi nyata dalam pikiran siswa. Dengan demikian konsep-konsep yang abstrak (formal), dapat saja sesuai dan menjadi masalah siswa, selama konsep itu dapat diterima oleh pikiran siswa. Dengan adanya dua jenis matematisasi tersebut, Treffers (dalam Amin, 2006:42) mengklasifikasi pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan intensitas kedua matematisasi tersebut, yaitu:

        1. Mekanistik
          Mekanistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada latihan, dan penghafalan rumus. Proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal tidak tampak.
        2. Strukturalistik
          Strukturalistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada matematisasi vertikal dan cenderung mengabaikan matematisasi horisontal.
        3. Empiristik
          Empiristik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada matematisasi horisontal dan cenderung  mengabaikan matematisasi vertikal.
        4. Realistik
          Realistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang menyeimbangkan matematisasi horisontal dan vertical.
          Menurut Treffers (dalam Streefland, 1991:32) dengan memperhatikan keberadaan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal yang terdapat pada setiap pendekatan pembelajaran matematika, dapat dibuat tabel berikut.

Pendekatan
Matematisasi
Harisontal
Vertikal
Mekanistik
Strukturalistik
+
Empiristik
+
Realistik
+
+

Treffers (dalam Streefland, 1991:32)

Keterangan:

Tanda + menunjukkan komponen matematisasi yang banyak diperhatikan.

Tanda – menunjukkan komponen matematisasi yang kurang atau tidak diperhatikan.

Salah satu permasalahan terbesar dengan matematika modern ialah menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan secara mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa (Fauzan, 2002). Fauzan mengamati di kelas bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa memahaminya. PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia. Reformasi pendidikan matematika beralaskan dua tiang: pertama adalah kemampuan guru menciptakan budaya kelas yang berorientasi permasalahan dan mengajak siswa dalam pelajaran yang bersifat interaktif, dan yang kedua ialah merancang kegiatan pelajaran yang dapat mendorong penemuan kembali matematika bersama dengan kemampuan guru menolong proses penemuan kembali (Gravemeijer, 1994). Faktor utama yang menjadi perhatian dalam melakukan reformasi ini adalah guru dan dosen yang harus bekerja sama. Mereka dipersiapkan melalui workshop yang meliputi kegiatan menyiapkan bahan ajar yang kontekstual, bagaimana mengatur siswa bekerja dalam kelompok dan memandu diskusi kelas, tidak menggurui tapi mendorong siswa berani mengeluarkan pendapat, dsb. Dosen didorong turun ke sekolah dan memandu pertemuan berkala antar guru. Workshop selalu mengacu pada kegiatan di kelas. Sebelum workshop, Tim PMRI dan konsultan Belanda melakukan kunjungan ke sekolah dan melakukan observasi di kelas. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di kelas dirancang kegiatan workshop dan perserta diajak mencari solusinya.

 Berdasarkan pemikiran tersebut, menurut Gravemeijer (dikutip Hadi, 2003) PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam peroses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan menurut Lange (dikutip Hadi, 2003) bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia nyata”

Menurut Blum dan Niss (dikutip Hadi, 2003) Dunia riil adalah segala sesuatu diluar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.

PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal.  Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh Prof.  RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di Belanda.Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah.  Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado.  Selain itu juga ada Unismuh, Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto  dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.

Pada suatu kesempatan tahun 1994, Robert Sembiring dan Pontas Hutagalung menghadiri Regional Conference of ICMI (International Commission on Mathematical Instruction) di Shanghai China. Pada konferensi tersebut Prof Jan de Lange (saat itu Direktur Institut Freudenthal, Utrecht, Belanda) sebagai invited speaker memaparkan tentang RME. Sembiring segera menyadari bahwa RME lah yang selama ini ia cari. Kepada beberapa peserta konferensi yang lain ia menanyakan tentang RME.

Sekembali dari China, Sembiring mengontak beberapa pakar pendidikan matematika di tanah air, seperti Prof R Soedjadi (UNESA), Prof Rusefendi (UPI), Prof Suryanto (UNY), dan Dr Yansen Marpaung (USD), untuk mencari langkah mempelajari lebih dalam RME, dan kemungkinan penerapannya di Indonesia. Mereka ternyata mempunyai visi yang sama, terutama dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan matematika di tanah air. Bahkan lebih jauh dari itu mereka mempunyai visi yang sama untuk menanamkan prinsip-prinsip demokrasi melalui pembelajaran matematika.

Dalam PMRI, siswa dibiasakan untuk mengangkat tangan, dan mengangkat tangan apabila mereka benar-benar mengerti jawaban. Guru diajarkan untuk menunjuk seorang siswa di antara mereka yang mengangkat tangan. Siswa diajarkan untuk berbicara setelah diberi kesempatan. Mereka juga dibiasakan untuk mendengarkan satu sama lain, menghargai perbedaan, dan membahas perbedaan pendapat di antara mereka.

Sembiring menambahkan: Itulah demokrasi. PMRI mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi.



B.          Prinsip-Prinsip PMRI


Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:

        1. Guided Reinvention (menemukan kembali) / Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)
          Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
        2. Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
          Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.
          Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh. Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
        3. Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
          Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika. Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan. Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.

C.          Karateristik PMRI


Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:

        1. Penggunaan konteks (The use of context)
          Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata. Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
          Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa. Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
          Dalam pembelajaran ini siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan berkelompok. Permasalahan ini diselesaikan melalui sebuah tahapan yaitu masalah diartikan sebagai kalimat matematika, memecahkan dengan aturan-aturan matematika, dan pada akhirnya dikembalikan pada situasi nyata (Gravemeijer, 1994). Proses matematisasi sebagai sebuah siklus, yang diilustrasikan seperti gambar di bawah ini.

          (De Lange dalam Amin, 2006: 47)
          Gambar 2.1 Siklus proses matematisasi
          Berdasarkan gambar di atas dapat kita ketahui bahwa matematisasi diawali dari permasalahan nyata atau kontekstual. Selanjutnya melalui abstraksi dan formalisasi siswa dapat mengembangkan konsep menjadi lebih lengkap. Pada akhirnya siswa dapat mengaplikasikan konsep matematika yang diperolehnya ke dunia nyata. Dengan penggunaan dunia nyata, pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna (Amin, 2006:47).

  1. Penggunaan model
    Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
  2. Penggunaan produksi dan konstruksi siswa
    Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
  3. Interaktivitas
    Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktivitas siswa. Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.

  4. Jalinan antar unit matematika
    Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika. Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya. Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).


D.          Langkah-langkah pembelajaran PMRI


Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:

Langkah 1: Memahami konteks

Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.

Langkah 2 : Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah

Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.

Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistik

Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru. Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.

Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah

Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.

Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah

Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.

    1. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran PMRI
      1.         Kelebihan pembelajran pendekatan PMRI
      Menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran pembelajran pendekatan PMRI antara lain:

    1. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
    2. Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika.
    3. Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak usah harus sama antara orang yang satu dengan yang lainnya.
    4. Mempelajari  matematika peroses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajarai metematika orang harus menjalani sendiri peroses itu dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
    5. Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan. 
      2. Kelemahan pembelajaran matematika realistic
      Kelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003), yaitu:

  1. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa.
  2. Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran konvensional
  3. Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa.
    3. Cara mengatasi  kelemahan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan upaya-upaya antara lain :

    1. Memodifikasi semua siswa untuk dalam kegiatan pembelajaran
    2. Memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan.
    3. Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep.
    4. Mengguanakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa maka pembelajran matematika dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep matematika.


    1. Teori yang berkaitan dengan Pembelajaran PMRI
      Teori yang terkait dengan Pembelajaran PMRI adalah teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa ada tiga aspek perkembangan itelektual yaitu struktur, isi, fungsi. Struktur merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
      Isi adalah pola prilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi ialah cara yang digunakan amak untuk membuat kemajuan intelektual.
      Penerapan dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

  1. Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekedar pada hasilnya.
  2. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran.
  3. Memaklumi adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu atau kelompok-kelompok kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa PMRI sangat terkait dengan teori Piaget, karena PMRI menekankan pada proses berpikir siswa serta memperhatikan keterlibatan siswa secara individu dalam menyelesaikan masalah kontekstual bukan hanya pada hasil belajarnya sebagaimana diungkapkan dalam teori Piaget.

    1. Penerapan PMRI dalam pembelajaran matematika di kelas

      Kelas                  : VII
      Semester            : I (satu)
      Materi                : Perbandingan
  1. Keterkaitan pembelajaran pada materti perbandingan ini dengan 3 prinsip-prinsip PMRI,yaitu:
    1.  Menggunakan konteks baju seragam sekolah merupakan fenomena-fenomena mendidik yang mengandung konsep matematika materi perbandingan. Siswa diberi kesempatan untuk mengkontruksi konsep-konsep matematika atau mengalami sendiri proses yang sama saat mereka melakukan pengukuran dan membuat ukuran pola baju sebenarnya dan bukan pola baju sebenarnya (digambar ukuran kecilnya).
    2.  Dari konteks tersebut dapat dijadikan bahan dalam pembelajaran matematika yang berangkat dari keadaan yang real bagi siswa sebelum mencapai tingkatan-tingkatan matematika formal.
    3.  Adanya model berupa gambar pola baju pada buku mereka. Membandingkan pola baju sebenarnya berdasarkan hasil pengukuran dan pola baju yang digambar pada buku mereka, berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal.

  2. Keterkaitan Pembelajaran pada materi Perbandingan ini dengan  kelima karakteristik PMRI, yaitu:
    1. Menggunakan konteks
    Konteks yang digunakan adalah baju seragam sekolah dan pola baju ukuran sebenarnya. Penggunaan konteks tersebut bertujuan agar proses berfikir siswa terjadi sehingga dengan menggunakan baju seragam yang dipakainya dia dapat melakukan proses pengukuran dengan benar dan memperoleh angka-angka yang tepat untuk membuat pola baju.
    2.   Menggunakan model
    Pola baju yang digambar dengan ukuran kecil adalah merupakan model. Dengan menggunakan model pola baju siswa dapat melakukan perbandingan dari angka-angka yang mereka peroleh sendiri dari hasil pengukuran yang mereka lakukan terhadap salah satu teman mereka dalam satu kelompok.
    3. Menggunakan kontribusi siswa
    Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja, berpikir dan mengkomunikasikan pendapat mereka dan guru hanya bertindak sebagai pembimbing (fasilitator), moderator dan evaluator.
    4. Interaktivitas
    Guru sebagai fasilitator memberikan arahan/petunjuk untuk mengatur mereka sehingga siswa dapat berberinteraksi antara sesama siswa, siswa dengan guru, baik dalam diskusi, kerjasama dan evaluasi.
    5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
    Dengan melakukan pengukuran, siswa dapat membuat pola baju, dan membuat gambar tak sebenarnya pada kertas gambar. Ini sangat menarik bagi siswa sebab akan berkembang dengan membuat model (desain) baju dan hal ini berhubungan dengan pelajaran keterampilan.


      1.   Langkah – langkah

      1. Kegiatan Awal
          1. Sebelum proses pembelajaran siswa diminta menyiapkan :

  1. Koran
  2. Gunting
  3. Skala meteran
  4. Pensil
  5. mistar 

          1. Guru menunjukkan kepada siswa baju seragam siswa
            Diberikan 4 (empat) buah foto yaitu:

  • orang lagi menjahit
  • anak berpakaian baju sekolah
  • orang lagi mengukur
  • pola baju
    Dari keempat foto tersebut siswa diminta untuk mengurutkannya, dan menceritakan kejadian di atas.
    2. Kegiatan Inti
    A. Siswa diminta untuk menggambar desain Baju sesuai dengan ide mereka masing-masing
    B.  Kemudian Siswa dibentuk dalam beberapa kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 4 orang Siswa.
    C.Untuk tiap kelompok siswa masing-masing melakukan pengukuran pada salah seorang siswa yang berada pada kelompoknya dengan instruksi sebagai berikut
    a. Punggung,
    Diukur dari tulang leher belakang yang menonjol kebawah  sampai dibawah ban  pinggang.

  1. Lebar bahu,
    Diukur dari lekuk leher di bahu atau bahu yang paling tinggi sampai titik bahu  yang terendah atau paling ujung.
    c. lebar punggung
    Diukur dari pertengahan kedua pangkal lengan bagian belakang dari kiri – kanan
    d. Panjang lengan pendek
    Diukur dari puncak lengan ke bawah sampai kira-kira 3 cm di atas siku.
     Siswa diminta mencatatlah hasilnya dan mengisi titik-titik di bawah ini:

  1. Ukuran punggung = …… cm
  2. ukuran lebar bahu = ……..cm
  3. ukuran lebar punggung =……cm
  4. Panjang lengan =……. Cm

  • Dengan menggunakan ukuran tersebut siswa diminta untuk membuat polanya pada kertas Koran.
  • Pola baju yang di buat tadi di buat lagi gambarnya dalam ukuran kecil kemudian diukur panjang punggung, lebar bahu, lebar punggung, dan   panjang lengannya dengan menggunakan mistar.

  • Membandingkan ukuran pada pola di gambar dengan hasil ukuran yang sebenarnya.

Dengan mengisi titik-titik di bawah ini:

  1. Ukuran punggung = …… cm : …… cm  = …..  : ….
  2. Ukuran lebar bahu = …… cm : …… cm  = ….. : ….
  3. Ukuran lebar punggung =……cm : ….cm = …. : ….
  4. Panjang lengan = ….. cm : … = ….. cm : …. : ….

  • Lalu masing-masing kelompok menyimpulkan hasilnya dan menjelaskannya (dari kegiatan ini akan diperoleh  konsep apa itu Skala)
  • Diberikan 2 contoh gambar baju seragam sekolah dengan ukuran yang berbeda
  •  Diminta membandingkan gambar tersebut

  1. Bandingkan ukuran panjang lengan kiri nya =
  2. Bandingkan ukuran lebar baju =
  3. Hubungkan a) dan b) maka akan didapat


  • Yang akhirnya diperoleh bentuk umum perbandingan
    3.  Penutup
  • Siswa diminta mempresentasikan hasil kelompok mereka.
  • Guru memberikan PR



DAFTAR PUSTAKA




Amin, Siti Maghfirotun. (2006). Pengembangan Buku Panduan Guru untuk Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Kecerdasan Intrapribadi dan Interpribadi. Surabaya: Disertasi. Tidak dipublikasikan.

Fauzan, A. (2002). Applying Realistic Mathematics Education In Teachin Geometry In Indonesian Primary Schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.

Hadi, Sutarto. (2003). Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Banjarmasin:  FKIP Universitas Mangkurat.

Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.

Hobri, M.Pd. (2005). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk Guru dan Praktisi. Malang: Pena Salsabila

Siswono, Tatag Yuli Eko. (2006). PMRI: Pembelajaran yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa. Makalah Workshop Pembelajaran Matematika di MI Nurur Rohmah tanggal 8 Mei 2006.

Streefland, Lees. (1991). Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrech: Freudenthal Institute.

Sutarto Hadi. (2010). Kisah Hubungan Dua Bangsa Memajukan Pendidikan Matematika. https://p4mriunlam.wordpress.com/2010/01/26/buku-a-decade-of-pmri-in-indonesia/. Diakses pada tanggal 08 April 2016 pukul 21.22.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar