Pendekatan
PMRI
(Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Inovativ II)
Lestariningsih,
S.Pd., M.Pd.
Nama Anggota
Kelompok:
1.
Ahmad Didit Chayono. Nim: 1431005
2.
Aizzatur Rohmah Nim: 1431009
3.
Anni’mah
Manzila P Nim: 1431014
4.
Imro’atus
Sholichah Nim: 1431038
5.
M.
Arya Setiawan Nim: 1431054
6.
Nia
Erlita P. Nim:
1431056
STKIP PGRI SIDOARJO
Jalan Kemiri, Telp.(031) 8950181,
Fax.(031) 8071354, Sidoarjo.
Website : http://stkippgri-sidoarjo.ac.id
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016
A. Pengertian dan Sejarah PMRI
PMRI digagas oleh sekolompok
pendidik matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah mencari pengganti matematika
modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah yang tidak
menakutkan siswa, jadi ramah dan dapat menaikkan prestasi matematika siswa di
dunia internasional. Di samping itu, matematika pada dasarnya bersifat
demokratis, jadi wajar bila melalui matematika dapat ditanamkan budaya
demokratis pada siswa. Pencarian yang lama akhirnya menemukan jawabannya lewat
RME (Realistic Mathematics Education) yang diterapkan dengan sukses di
Belanda dan juga di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat (disebut Mathematics
in Context).
RME dikembangkan oleh Freudenthal
Instituut Belanda. Bentuk dari RME dikembangkan oleh Hans Freudenthal pada tahun 1977. Menurutnya, matematika harus
dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan
kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan
bahwa materi-materi matematika harus dapat ditransmisikan sebagai aktifitas
manusia (human activity). Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan
siswa untuk “reinvent” (menemukan/menciptakan) matematika melalui
praktek (doing it). Dengan demikian dalam pendidikan matematika,
matematika seharusnya tidak sebagai sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu
aktivitas dalam proses pematematikaan.
Dunia nyata pada PMRI digunakan
sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika. Menurut De Lange (dalam Hadi, 2005:20)
pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut pematematikaan
konseptual. Treffers (dalam Hadi,
2005:20) membedakan dua macam pematematikaan, yaitu vertikal dan horizontal.
Pematematikaan horisontal adalah siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya (mathematical
tools) dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Sedang pematematikaan vertikal adalah proses reorganisasi dalam
sistem matematika itu sendiri, sebagai contoh menemukan cara singkat menemukan
hubungan antara konsep-konsep dan strategi-strategi, dan kemudian menerapkan
strategi-strategi itu. Singkatnya, pematematikaan horisontal berkaitan dengan
perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan pematematikaan
vertikal adalah pengubahan dari simbol-simbol ke simbol matematika lainnya (moving
within the world of symbols). Meskipun perbedaan antara 2 tipe ini menyolok,
tetapi tidak berarti bahwa 2 tipe tersebut terpisah sama sekali. Dua tipe
tersebut sama-sama bernilai. Pemerintah Belanda
mereformasikan pendidikan matematika dengan istilah “realistic” tidak hanya berhubungan dengan dunia nyata saja, tetapi
juga menekankan pada masalah nyata yang dapat dibayangkan (to imagine). Jadi penekanannya pada membuat sesuatu masalah itu
menjadi nyata dalam pikiran siswa. Dengan demikian konsep-konsep yang abstrak
(formal), dapat saja sesuai dan menjadi masalah siswa, selama konsep itu dapat
diterima oleh pikiran siswa. Dengan adanya dua jenis matematisasi tersebut, Treffers (dalam Amin, 2006:42) mengklasifikasi pendekatan
pembelajaran matematika berdasarkan intensitas kedua matematisasi tersebut,
yaitu:
- MekanistikMekanistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada latihan, dan penghafalan rumus. Proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal tidak tampak.
- StrukturalistikStrukturalistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada matematisasi vertikal dan cenderung mengabaikan matematisasi horisontal.
- EmpiristikEmpiristik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada matematisasi horisontal dan cenderung mengabaikan matematisasi vertikal.
- RealistikRealistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang menyeimbangkan matematisasi horisontal dan vertical.Menurut Treffers (dalam Streefland, 1991:32) dengan memperhatikan keberadaan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal yang terdapat pada setiap pendekatan pembelajaran matematika, dapat dibuat tabel berikut.
Pendekatan
|
Matematisasi
|
|
Harisontal
|
Vertikal
|
|
Mekanistik
|
–
|
–
|
Strukturalistik
|
–
|
+
|
Empiristik
|
+
|
–
|
Realistik
|
+
|
+
|
Treffers (dalam Streefland, 1991:32)
Keterangan:
Tanda +
menunjukkan komponen matematisasi yang banyak diperhatikan.
Tanda –
menunjukkan komponen matematisasi yang kurang atau tidak diperhatikan.
Salah satu permasalahan terbesar dengan matematika modern ialah
menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan
secara mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa (Fauzan, 2002).
Fauzan mengamati di kelas bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa
memahaminya. PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika
di Indonesia. Reformasi pendidikan matematika beralaskan dua tiang: pertama
adalah kemampuan guru menciptakan budaya kelas yang berorientasi permasalahan
dan mengajak siswa dalam pelajaran yang bersifat interaktif, dan yang kedua
ialah merancang kegiatan pelajaran yang dapat mendorong penemuan kembali
matematika bersama dengan kemampuan guru menolong proses penemuan kembali (Gravemeijer, 1994). Faktor utama yang
menjadi perhatian dalam melakukan reformasi ini adalah guru dan dosen yang
harus bekerja sama. Mereka dipersiapkan melalui workshop yang meliputi kegiatan
menyiapkan bahan ajar yang kontekstual, bagaimana mengatur siswa bekerja dalam
kelompok dan memandu diskusi kelas, tidak menggurui tapi mendorong siswa berani
mengeluarkan pendapat, dsb. Dosen didorong turun ke sekolah dan memandu
pertemuan berkala antar guru. Workshop selalu mengacu pada kegiatan di kelas.
Sebelum workshop, Tim PMRI dan konsultan Belanda melakukan kunjungan ke sekolah
dan melakukan observasi di kelas. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di
kelas dirancang kegiatan workshop dan perserta diajak mencari solusinya.
Berdasarkan pemikiran tersebut,
menurut Gravemeijer (dikutip Hadi,
2003) PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam peroses pembelajaran siswa
harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent)
matematika melalui bimbingan guru, dan menurut Lange (dikutip Hadi, 2003) bahwa
penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus
dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia nyata”
Menurut Blum dan Niss (dikutip Hadi, 2003) Dunia riil adalah segala sesuatu diluar matematika.
Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang
berbeda dengan matematika, atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar kita.
PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna
dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat
realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah
yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan
sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan
situasi dalam dunia nyata.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di
Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha
mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh
Prof. RK Sembiring dkk) sudah
dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk
mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia
untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di
Belanda.Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan
sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah.Â
Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di
Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun
2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta),
FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP
(Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas
Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura
Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Â Selain itu juga ada Unismuh,
Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto  dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang
terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000
sekolah.
Pada suatu kesempatan tahun 1994, Robert Sembiring dan Pontas Hutagalung
menghadiri Regional Conference of ICMI (International Commission on
Mathematical Instruction) di Shanghai China. Pada konferensi tersebut Prof Jan
de Lange (saat itu Direktur Institut Freudenthal, Utrecht, Belanda) sebagai
invited speaker memaparkan tentang RME. Sembiring segera menyadari bahwa RME
lah yang selama ini ia cari. Kepada beberapa peserta konferensi yang lain ia
menanyakan tentang RME.
Sekembali dari China, Sembiring mengontak beberapa pakar pendidikan matematika
di tanah air, seperti Prof R Soedjadi (UNESA), Prof Rusefendi (UPI), Prof
Suryanto (UNY), dan Dr Yansen Marpaung (USD), untuk mencari langkah mempelajari
lebih dalam RME, dan kemungkinan penerapannya di Indonesia. Mereka ternyata
mempunyai visi yang sama, terutama dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan
matematika di tanah air. Bahkan lebih jauh dari itu mereka mempunyai visi yang
sama untuk menanamkan prinsip-prinsip demokrasi melalui pembelajaran
matematika.
Dalam PMRI, siswa dibiasakan untuk mengangkat tangan, dan mengangkat tangan
apabila mereka benar-benar mengerti jawaban. Guru diajarkan untuk menunjuk
seorang siswa di antara mereka yang mengangkat tangan. Siswa diajarkan untuk
berbicara setelah diberi kesempatan. Mereka juga dibiasakan untuk mendengarkan
satu sama lain, menghargai perbedaan, dan membahas perbedaan pendapat di antara
mereka.
Sembiring menambahkan: Itulah demokrasi. PMRI mengajarkan prinsip-prinsip
demokrasi.
B. Prinsip-Prinsip PMRI
Prinsip pada pendekatan PMRI
dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90).
Tiga prinsip tersebut, yaitu:
- Guided Reinvention (menemukan kembali) / Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
- Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh. Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
- Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika. Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan. Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
C. Karateristik PMRI
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima
karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
- Penggunaan konteks (The use of context)Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata. Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa. Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).Dalam pembelajaran ini siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan berkelompok. Permasalahan ini diselesaikan melalui sebuah tahapan yaitu masalah diartikan sebagai kalimat matematika, memecahkan dengan aturan-aturan matematika, dan pada akhirnya dikembalikan pada situasi nyata (Gravemeijer, 1994). Proses matematisasi sebagai sebuah siklus, yang diilustrasikan seperti gambar di bawah ini.Gambar 2.1 Siklus proses matematisasiBerdasarkan gambar di atas dapat kita ketahui bahwa matematisasi diawali dari permasalahan nyata atau kontekstual. Selanjutnya melalui abstraksi dan formalisasi siswa dapat mengembangkan konsep menjadi lebih lengkap. Pada akhirnya siswa dapat mengaplikasikan konsep matematika yang diperolehnya ke dunia nyata. Dengan penggunaan dunia nyata, pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna (Amin, 2006:47).
- Penggunaan modelModel yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
- Penggunaan produksi dan konstruksi siswaSiswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
- InteraktivitasPembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktivitas siswa. Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.
- Jalinan antar unit matematikaHal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika. Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya. Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
D. Langkah-langkah pembelajaran PMRI
Menurut Hobri (2005: 102)
terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI,
yaitu:
Langkah 1:
Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa
diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang
mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban
yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi
pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa
mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih
bermakna.
Langkah 2 :
Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri.
Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
Langkah 3:
Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah
realistik yang diajukan guru. Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan
penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini
dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan
bantuan.
Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan
pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat
presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang
mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
Langkah 5:
Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi
diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi
yang telah dipelajari.
- Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran PMRI1. Kelebihan pembelajran pendekatan PMRIMenurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran pembelajran pendekatan PMRI antara lain:
- Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
- Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika.
- Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak usah harus sama antara orang yang satu dengan yang lainnya.
- Mempelajari matematika peroses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajarai metematika orang harus menjalani sendiri peroses itu dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
- Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.2. Kelemahan pembelajaran matematika realisticKelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003), yaitu:
- Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa.
- Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran konvensional
- Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa.3. Cara mengatasi kelemahan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan upaya-upaya antara lain :
- Memodifikasi semua siswa untuk dalam kegiatan pembelajaran
- Memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan.
- Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep.
- Mengguanakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa maka pembelajran matematika dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep matematika.
- Teori yang berkaitan dengan Pembelajaran PMRITeori yang terkait dengan Pembelajaran PMRI adalah teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa ada tiga aspek perkembangan itelektual yaitu struktur, isi, fungsi. Struktur merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.Isi adalah pola prilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi ialah cara yang digunakan amak untuk membuat kemajuan intelektual.Penerapan dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekedar pada hasilnya.
- Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran.
- Memaklumi adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu atau kelompok-kelompok kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa PMRI sangat terkait dengan teori Piaget, karena PMRI menekankan pada proses berpikir siswa serta memperhatikan keterlibatan siswa secara individu dalam menyelesaikan masalah kontekstual bukan hanya pada hasil belajarnya sebagaimana diungkapkan dalam teori Piaget.
- Penerapan PMRI dalam pembelajaran matematika di kelasKelas : VIISemester : I (satu)Materi : Perbandingan
- Keterkaitan pembelajaran pada materti perbandingan ini dengan 3 prinsip-prinsip PMRI,yaitu:1. Menggunakan konteks baju seragam sekolah merupakan fenomena-fenomena mendidik yang mengandung konsep matematika materi perbandingan. Siswa diberi kesempatan untuk mengkontruksi konsep-konsep matematika atau mengalami sendiri proses yang sama saat mereka melakukan pengukuran dan membuat ukuran pola baju sebenarnya dan bukan pola baju sebenarnya (digambar ukuran kecilnya).2. Dari konteks tersebut dapat dijadikan bahan dalam pembelajaran matematika yang berangkat dari keadaan yang real bagi siswa sebelum mencapai tingkatan-tingkatan matematika formal.3. Adanya model berupa gambar pola baju pada buku mereka. Membandingkan pola baju sebenarnya berdasarkan hasil pengukuran dan pola baju yang digambar pada buku mereka, berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal.
- Keterkaitan Pembelajaran pada materi Perbandingan ini dengan kelima karakteristik PMRI, yaitu:1. Menggunakan konteksKonteks yang digunakan adalah baju seragam sekolah dan pola baju ukuran sebenarnya. Penggunaan konteks tersebut bertujuan agar proses berfikir siswa terjadi sehingga dengan menggunakan baju seragam yang dipakainya dia dapat melakukan proses pengukuran dengan benar dan memperoleh angka-angka yang tepat untuk membuat pola baju.2. Menggunakan modelPola baju yang digambar dengan ukuran kecil adalah merupakan model. Dengan menggunakan model pola baju siswa dapat melakukan perbandingan dari angka-angka yang mereka peroleh sendiri dari hasil pengukuran yang mereka lakukan terhadap salah satu teman mereka dalam satu kelompok.3. Menggunakan kontribusi siswaKontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja, berpikir dan mengkomunikasikan pendapat mereka dan guru hanya bertindak sebagai pembimbing (fasilitator), moderator dan evaluator.4. InteraktivitasGuru sebagai fasilitator memberikan arahan/petunjuk untuk mengatur mereka sehingga siswa dapat berberinteraksi antara sesama siswa, siswa dengan guru, baik dalam diskusi, kerjasama dan evaluasi.5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.Dengan melakukan pengukuran, siswa dapat membuat pola baju, dan membuat gambar tak sebenarnya pada kertas gambar. Ini sangat menarik bagi siswa sebab akan berkembang dengan membuat model (desain) baju dan hal ini berhubungan dengan pelajaran keterampilan.
- Langkah – langkah
- Kegiatan Awal
- Sebelum proses pembelajaran siswa diminta menyiapkan :
- Koran
- Gunting
- Skala meteran
- Pensil
- mistar
- Guru menunjukkan kepada siswa baju seragam siswaDiberikan 4 (empat) buah foto yaitu:
- orang lagi menjahit
- anak berpakaian baju sekolah
- orang lagi mengukur
- pola bajuDari keempat foto tersebut siswa diminta untuk mengurutkannya, dan menceritakan kejadian di atas.2. Kegiatan IntiA. Siswa diminta untuk menggambar desain Baju sesuai dengan ide mereka masing-masingB. Kemudian Siswa dibentuk dalam beberapa kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 4 orang Siswa.C.Untuk tiap kelompok siswa masing-masing melakukan pengukuran pada salah seorang siswa yang berada pada kelompoknya dengan instruksi sebagai berikuta. Punggung,Diukur dari tulang leher belakang yang menonjol kebawah sampai dibawah ban pinggang.
- Lebar bahu,Diukur dari lekuk leher di bahu atau bahu yang paling tinggi sampai titik bahu yang terendah atau paling ujung.c. lebar punggungDiukur dari pertengahan kedua pangkal lengan bagian belakang dari kiri – kanand. Panjang lengan pendekDiukur dari puncak lengan ke bawah sampai kira-kira 3 cm di atas siku.Siswa diminta mencatatlah hasilnya dan mengisi titik-titik di bawah ini:
- Ukuran punggung = …… cm
- ukuran lebar bahu = ……..cm
- ukuran lebar punggung =……cm
- Panjang lengan =……. Cm
- Dengan menggunakan ukuran tersebut siswa diminta untuk membuat polanya pada kertas Koran.
- Pola baju yang di buat tadi di buat lagi gambarnya dalam ukuran kecil kemudian diukur panjang punggung, lebar bahu, lebar punggung, dan panjang lengannya dengan menggunakan mistar.
- Membandingkan ukuran pada pola di gambar dengan hasil ukuran yang sebenarnya.
Dengan mengisi titik-titik di bawah
ini:
- Ukuran punggung = …… cm : …… cm = ….. : ….
- Ukuran lebar bahu = …… cm : …… cm = ….. : ….
- Ukuran lebar punggung =……cm : ….cm = …. : ….
- Panjang lengan = ….. cm : … = ….. cm : …. : ….
- Lalu masing-masing kelompok menyimpulkan hasilnya dan menjelaskannya (dari kegiatan ini akan diperoleh konsep apa itu Skala)
- Diberikan 2 contoh gambar baju seragam sekolah dengan ukuran yang berbeda
- Diminta membandingkan gambar tersebut
- Bandingkan ukuran panjang lengan kiri nya =
- Bandingkan ukuran lebar baju =
- Hubungkan a) dan b) maka akan didapat
- Yang akhirnya diperoleh bentuk umum perbandingan3. Penutup
- Siswa diminta mempresentasikan hasil kelompok mereka.
- Guru memberikan PR
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Siti Maghfirotun. (2006). Pengembangan Buku
Panduan Guru untuk Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Kecerdasan
Intrapribadi dan Interpribadi. Surabaya: Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Fauzan,
A. (2002). Applying Realistic Mathematics
Education In Teachin Geometry In Indonesian Primary Schools. Doctoral
dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer,
K. (1994). Developing Realistic
Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Hadi,
Sutarto. (2003). Paradigma Baru
Pendidikan Matematika. Banjarmasin:
FKIP Universitas Mangkurat.
Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin:
Tulip.
Hobri,
M.Pd. (2005). Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) untuk Guru dan Praktisi. Malang: Pena Salsabila
Siswono,
Tatag Yuli Eko. (2006). PMRI:
Pembelajaran yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa.
Makalah Workshop Pembelajaran Matematika di MI Nurur Rohmah tanggal 8 Mei 2006.
Streefland,
Lees. (1991). Realistic
Mathematics Education in Primary School. Utrech: Freudenthal Institute.
Sutarto
Hadi. (2010). Kisah Hubungan Dua Bangsa
Memajukan Pendidikan Matematika. https://p4mriunlam.wordpress.com/2010/01/26/buku-a-decade-of-pmri-in-indonesia/.
Diakses pada tanggal 08 April 2016 pukul 21.22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar